PATI, Lingkarjateng.id – Dampak kemarau panjang mengakibatkan ratusan wilayah di Kabupaten Pati mengalami krisis air bersih. Melihat kondisi tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati menetapkan status tanggap darurat bencana kekeringan di wilayah setempat pada Selasa, 3 Oktober 2023.
Status darurat bencana kekeringan ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) Pati Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perbup Pati Nomor 36 Tahun 2013 tentang Pedoman Penentuan Status Keadaan Darurat Bencana.
“Kita sudah melakukan rapat dalam rangka penetapan status gawat darurat bencana yang sedang menimpa Kabupaten Pati adalah bencana kekeringan,” kata Penjabat (Pj) Bupati Pati Henggar Budi Anggoro saat rapat penetapan itu bersama forkopimda dan sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) terkait di Ruang Joyo Kusumo, Setda Pati.
Ia menyebut, status darurat bencana kekeringan dimulai Selasa, 3 Oktober 2023 hingga dua minggu ke depan.
“Untuk saat ini, kita menetapkan gawat darurat mulai terhitung hari ini sampai 14 hari ke depan. Sesuai dengan kondisi di lapangan nanti bisa diperpanjang lagi. Pada saat ini sudah kita tetapkan biar kita bisa melangkah lebih luas lagi agar tidak muncul permasalahan tambahan,” jelasnya.
Henggar menegaskan bahwa penetapan status darurat bencana kekeringan di Kabupaten Pati sudah pada waktu yang tepat.
“Kita juga bisa nanti ada beberapa alokasi anggaran. Banyak hal yang bisa kita lakukan dengan penetapan ini. Sehingga nanti kita sangat berharap di dalam bencana kekeringan ini nanti kita akan lakukan ada droping beras untuk kepentingan masyarakat. Kemudian, bagi warga yang kesulitan mendapatkan air bersih akan dibantu oleh semua unsur pemerintahan yang ada di Pati,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pati Martinus Budi Prasetya mengatakan, penetapan status darurat bencana kekeringan dilakukan setelah melakukan evaluasi terhadap permasalahan yang timbul akibat bencana kekeringan yang terjadi di Kabupaten Pati.
“Minimal ada tiga desa terdampak, kemudian luas lahan pertanian 1.200 hektare. Setelah kekeringan berjalan dari akhir Juli sampai 30 November, ternyata sudah saatnya dinaikkan statusnya dari siaga menjadi tanggap darurat,” ujar Martinus.
Lebih lanjut, Martinus mengatakan bahwa pihaknya sudah mengajukan dana Biaya Tak Terduga (BTT) dan Dana Siap Pakai (DSP) kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk menangani bencana kekeringan di Kabupaten Pati.
Ia menyebut, dana BTT Kabupaten dan BTT Provinsi yang diajukan untuk menangani bencana, nominalnya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
“Jadi nominalnya yang bisa dipastikan itu DSP BNPB di angka Rp 250 juta yang difokuskan tetap bantuan air bersih, karena memang itu yang dibutuhkan,” jelasnya.
Martinus menjelaskan, berdasarkan pengalaman BPBD saat mengajukan BTT untuk membangun jembatan di Desa Kropak, Kecamatan Winong, Kabupaten Pati, dana yang berhasil dicairkan sebesar Rp 200 juta.
“Saat ada kerusakan jembatan di Desa Kropak itu kita tidak ada anggaran. Kami BPBD mengajukan untuk permohonan BTT untuk perbaikan itu bisa keluar kalau tidak salah sampai 200 juta,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Martinus, dana BTT yang digunakan untuk mengatasi Pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu menandakan bahwa besaran dana BTT tak terbatas bahkan bisa mencapai miliaran.
“Jadi BTT itu tidak dibatasi, pada saat Covid malah luar biasa sampai miliar satuannya yang digunakan untuk penanganan,” imbuhnya.
Terkait teknis pengajuan, kata dia, organisasi perangkat desa (OPD) teknis yang membutuhkan anggaran harus membuat Rancangan Anggaran Belanja (RAB) terlebih dahulu. “Kemudian mengajukan kepada Tim Anggaran Pemerintah (TAPD), besarannya itu bermacam-macam tidak dibatasi tidak ya,” jelasnya.
(Lingkar Network | Setyo Nugroho – Lingkarjateng.id)