1.787 Anak di Jepara Putus Sekolah, Faktor Lingkungan Jadi Salah Satu Pemicu

JEPARA, Lingkarjateng.id – Berdasarkan data per 1 April 2023 Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Jepara, terdapat 5.230 anak tidak sekolah di Kabupaten Jepara. Jumlah tersebut terdiri dari anak putus sekolah dan anak yang sudah lulus tetapi tidak melanjutkan.

“1.787 putus sekolah terdiri dari 1.301 laki-laki dan 577 perempuan. Kemudian untuk anak yang lulus tidak melanjutkan sebanyak 3.352 anak terdiri dari 2.304 laki-laki dan 1.048 perempuan,” ungkap Kepala Disdikpora Jepara, Agus Tri Harjono, belum lama ini.

Agus mengatakan ada sejumlah faktor yang mempengaruhi banyaknya jumlah anak tidak sekolah di Kabupaten Jepara . Seperti karena adanya kecacatan fisik, ekonomi, sampai faktor geografis.

Rp 1 Miliar Dianggarkan untuk Tuntaskan Anak Tidak Sekolah di Jepara

“Seperti di Desa Parang, Kecamatan Karimunjawa, kalau sudah lulus SMP banyak yang tidak melanjutkan sekolah karena alasan ekonomi. Dari itu kemudian ikut orang tuanya cari ikan (jadi nelayan, red),” jelasnya.

Untuk mengatasi hal itu, Agus menyampaikan bahwa Disdikpora Jepara mengarahkan anak-anak tidak sekolah untuk mengikuti program paket A, B, C agar nantinya anak-anak tidak sekolah tersebut memiliki ijazah yang setara dengan ijazah SMP dan SMA.

“Ini juga kita bekali dengan keterampilan selama satu bulan. Setelah itu saya suruh untuk sekolah lagi di sekolah paket A, B, atau C,” ujarnya.

Menurutnya, anak tidak sekolah di Kabupaten Jepara terdapat macam-macam variasi. Ia menilai, efek dari lingkungan sekitar sangat berpengaruh pada pola pikir anak-anak yang menyebabkan anak-anak memilih mencari uang daripada sekolah.

Pj Bupati Jepara Imbau Pelajar Hindari Pernikahan Dini

“Di Jepara itu asal mau bergerak pasti dapat uang. Ini yang membuat anak-anak itu tidak melanjutkan sekolah dengan didukung percakapan-percakapan dari lingkungan sekitarnya yang mengarah untuk mencari uang saja daripada sekolah,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa kunci utama permasalahan tersebut terletak pada lingkungan keluarga.

“Kita harus bisa mengubah pola pikir masyarakat terlebih dahulu. Kunci utamanya terletak pada lingkungan keluarga. Maka dari itu, kami bekerja sama dengan stakeholder terkait untuk melakukan pembinaan kepada para orang tua agar peduli pada pendidikan anak-anaknya,” tegasnya. (Lingkar Network | Tomi Budianto – Koran Lingkar)