BLORA, Lingkarjateng.id – Kepala Desa Tobo, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Edi Supoyo, mengaku terpaksa menunda beberapa rencana pembangunan akibat dipotongnya anggaran Dana Desa hingga kisaran Rp 500 juta pada tahun anggaran 2023.
Padahal menurut Edi, pada tahun 2022 lalu desa yang memiliki lima pedukuhan itu mendapatkan dana desa Rp 1,2 miliar.
“Tahun ini berkurang hingga kisaran 500 juta. Tentu saja ini sangat berat bagi kami,” ujar Edi pada Senin, 2 Oktober 2023.
Edi menyebut pemotongan anggaran dana desa ini jelas mempengaruhi rencana pembangunan desa. Kendati begitu, dia mengaku tidak bisa berbuat banyak selain menyesuaikan program dengan dana yang ada.
“Kami hanya bisa menyusun rencana pembangunan sesuai dengan anggaran yang telah ada,” terangnya.
Sekitar 40 persen dana desa yang diterima itu, jelas Edi, digunakan untuk kegiatan fisik sedangkan sisanya untuk pembangunan non fisik. Namun sekali lagi, ia menekankan bahwa pemotongan anggaran itu tidak bisa meng-cover pembangunan fisik di semua dukuhan yang ada di desanya.
“Sehingga kami harus membuat skala prioritas. Mana saja yang pembangunannya harus didahulukan,” ucapnya.
Meski tidak mudah, pihaknya berupaya untuk memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa pembangunan akan digilir setiap tahun.
“Yang susah itu memberi pengertian masyarakat. Kami beban, tetapi satu sisi anggaran memang sangat terbatas,” bebernya.
Sejumlah pekerjaan Pembangunan yang harus segera diselesaikan itu yakni rencang pavingisasi 1 km Dukuh Wonosari, talud dan drainase. Kemudian Dukuh Dawung juga membutuhkan drainase dan talut.
“Ada tiga titik jembatan dan beberapa pengerasan jalan,” lanjutnya.
Dia berharap, tahun 2024 nanti anggaran dana desa untuk Desa Tobo bisa menerima Rp 1,2 miliar seperti tahun 2022.
“Semoga saja, karena kami hanya bisa berharap,” imbuhnya.
Sementara itu Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Blora, Yayuk Windrati, menerangkan bahwa mekanisme dana desa ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi.
“Kalau pagu DD itu yang menentukan pusat, dan sudah ada formulanya dari pusat. Kalau kabupaten dan desa tinggal menerima saja,” ungkapnya.
Menurut Yayuk, pemerintah desa harus cerdas membuat program dengan anggaran yang sudah ada.
“Terkait mengganggu program atau tidak, yang penting dalam perencanaan kegiatan harus benar, kegiatan berdasarkan skala prioritas. Mungkin PAD yang bisa dimaksimalkan untuk menutupi turunnya pagu DD,” pungkasnya. (Lingkar Network | Hanafi – Koran Lingkar)