Menggali Nilai Islami Dibalik Bedug dan Kentongan Masjid Agung Demak

DEMAK, Lingkar.news – Masjid Agung Demak memiliki nilai historis penyebaran agama Islam di daerah berjuluk Kota Wali ini. Jejak-jejak sejarah itu kini tersimpan rapi di Museum Masjid Agung Demak.

Selain pintu bledek dan soko tatal yang sangat identik dengan arsitektur Masjid Agung Demak, benda-benda besejarah lainnya yang kental dengan peradaban saat itu, seperti halnya bedug dan kentongan yang tak kalah menarik untuk ditelisik.

Masjid Agung Demak hingga saat masih difungsikan sebagai tempat beribadah bagi umat Islam bahkan menjadi jujukan wisata religi. Namun untuk bedug dan kentongan di masjid ini sudah disimpan di museum. Dua benda ini juga menyimpan cerita Sejarah masing-masing.

Mengenal Filosofi Dibalik Saka Tatal Masjid Agung Demak

Bedug dan kentongan yang tersimpan dan terawat dengan apik di dalam museum tersebut diketahui merupakan salah satu mahakarya dari Sunan Kalijaga atau Raden Syahid yang dulunya ada di Masjid Agung Demak.

Bedug dan kentongan tersebut dulunya digunakan Sunan Kalijaga sebagai salah satu sarana dalam menyebarkan agama islam di tlatah (daerah) Demak. Benda tersebut difungsikan untuk memanggil dan ajakan kepada umat muslim untuk segera datang ke masjid dalam rangka menunaikan ibadah salat.

Konon, terdapat dua bedug dan dua kentongan kayu yang dibuat khusus untuk Masjid Agung Demak. Masing-masing bedug memiliki ukuran yang berbeda, pada sisi utara berukuran 99 cm dan yang sisi selatan 87 cm, kedua bedug tersebut digantungkan pada dua gawangan kayu. 

Melihat Jejak Sejarah pada Motif Ukir Pintu Bledeg Masjid Agung Demak

Petugas di Museum Masjid Agung Demak, Khusni Mubarok, menjelaskan bahwa bedug dan kentongan tersebut merupakan salah satu mahakarya dari Sunan Kalijaga yang mempunyai makna dan filosofi tersendiri. 

“Bedug, yang kalau dipukul bunyinya deng-deng-deng itu artinya masjidnya masih sedeng atau masih muat, jadi jamaah bisa masuk ke dalam masjid,” kata Khusni. 

Sementara kentongan yang ada di Masjid Agung Demak berbentuk seperti tapal kuda mempunyai filosofi sebagai pengingat warga untuk dapat pergi ke masjid secepat naik kuda.

“Kentongan bentuknya unik seperti tapal kuda, ada makna dan filosofinya. Ketika dipukul bunyinya tong-tong-tong menandakan masjidnya masih kosong dan jamaah bisa berlari seperti kuda untuk segera menuju ke masjid,” tuturnya. 

Bedug dan kentongan juga digunakan sebagai penanda akan dilakukannya ibadah salat di setiap waktunya.

“Ini sudah ada di abad 15, berarti sekitar lima abad,” tutupnya. (Lingkar Network | M. Burhanuddin Aslam – Lingkar.news)