BLORA, Lingkarjateng.id – Polemik seleksi perangkat desa (perades) di Desa Jimbung, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, kembali memanas setelah pihak Muhkamad Cs (pemohon) gagal melakukan eksekusi kepada Kepala Desa (Kades) Jimbung pada 9 Agustus 2023.
Tertanggal 21 Agustus 2023, Muhkamad Cs kembali mengantongi dasar setelah mendapatkan surat dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang yang ditujukan kepada Camat Kedungtuban Rajiman perihal Permohonan Pelaksanaan Eksekusi Hasil Putusan PTUN dengan No: 1108/KPTUN.W3TUN.2.7/VIII/2023 untuk mendorong kepada Kades Jimbung (termohon) memberikan berkas yang diminta oleh pemohon.
Akan tetapi Kades Jimbung, Pasrah, selaku termohon dengan tegas menolak dan hingga saat ini belum dapat memberikan berkas yang diminta oleh Muhkamad Cs selaku pihak pemohon dikarenakan pihaknya masih melakukan upaya hukum dan perlawanan.
Polemik Seleksi Perades di Jimbung Blora, Camat Kedungtuban: Proses Hukum yang Menentukan
“Jika sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 pasal 66 ayat 2 yang menyatakan “Permohonan Peninjauan Kembali (PK) Tidak Menangguhkan atau Menghentikan Pelaksanaan Putusan Pengadilan”, pihak termohon dan kuasa hukumnya mestinya paham dengan undang-undang tersebut. Kenapa masih ngeyel tidak memberikan berkas yang kita inginkan,” ujar Muhkamad, pada Jumat siang, 25 Agustus 2023.
Muhkamad menyatakan bahwa Kades Jimbung sudah diberitahu hakim jika PK tidak bisa menghentikan upaya eksekusi.
“Kami tetap akan terus berupaya, termasuk kepada Camat Kedungtuban,” tegasnya.
Diduga Ada Maladministrasi Seleksi Perades, Warga Jimbung Blora bakal Eksekusi Putusan PTUN
Terpisah, kuasa hukum Kades Jimbung yang diwakili Sumari Agus Wibowo menyampaikan, jika dasar Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 Pasal 66 ayat 2, yang dipegang pihak pemohon itu benar. Tetapi yang perlu diketahui adalah perkara yang akan dieksekusi itu adalah perkara yang nonlitigasi dan ajudikasi.
“Tentu perlakuan hukumnya tidak sama dengan perkara yang bersifat litigasi dan bersifat yudikatif seperti perkara di pengadilan negeri atau pengadilan agama. Sedangkan Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 14 itu diperuntukkan atas perkara litigasi dan yudikasi yang telah mempunyai kekuatan hukum yg tetap, sedang kedudukan perkara yg ditangani KIP adalah ajudikasi dan non-litigasi,” kata Sumari.
Artinya, lanjut Sumari, KIP bukan badan peradilan yang putusannya diatur pada Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 14 tahun 1985.
“Harus bisa dibedakan ya, jadi silakan jika punya persepsi lain,” ucap Sumari. (Lingkar Network | Hanafi – Koran Lingkar)