KUDUS, Lingkarjateng.id – Warga di sekitar The Sato Hotel Kudus kembali mengajukan gugatan terhadap Izin Mendirikan Bangunan (IMB) milik hotel tersebut. Pasalnya, pembangunan hotel dan IMB yang telah diterbitkan itu dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
The Sato Hotel sendiri berlokasi di Jalan Pemuda Nomor 77, Desa Kramat, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Gugatan terhadap hotel tersebut salah satunya dilakukan oleh Beny Djunaedi yang lokasi rumahnya berada tepat di sisi utara The Sato Hotel.
Kuasa Hukum Beny Djunaedi, Budi Supriyatno menjelaskan, warga sudah mengajukan gugatan terhadap IMB The Sato Hotel sejak awal pembangunannya yakni pada tahun 2017. Total ada tiga gugatan ke pengadilan yang telah dilakukan warga sekitar hotel tersebut.
Menang Banding, Pemkab Kudus Tak Wajib Batalkan IMB The Sato Hotel
“Gugatan pertama sudah dimenangkan oleh warga dan Pengadilan memerintahkan Pemda Kudus harus membatalkan dan harus mencabut IMB The Sato Hotel. Tetapi Pemda Kudus malah mengeluarkan IMB yang kedua,” jelasnya.
Selanjutnya, warga melakukan gugatan kedua kalinya ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya. Namun, gugatan tersebut tidak diterima pengadilan dengan alasan penggugat tidak memiliki IMB bangunan rumahnya.
“Ini kami melakukan gugatan yang ketiga kalinya atas nama Beny Djunaedi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang dengan nomor 27/G/2023/PTUN. Kami juga sudah menyiapkan bukti baru, sudah ada IMB dan PBB warga,” terangnya.
Sengketa IMB The Sato Hotel, Pemkab Kudus Ajukan Banding Lagi
Dirinya menegaskan, tuntutannya dalam gugatan terbaru ini yaitu IMB kedua harus dicabut atau dibatalkan. Menurutnya, IMB ini tidak bermuatan hukum karena terbit setelah bangunan sudah berdiri.
Selain itu, IMB tersebut juga tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena gedung The Sato Hotel Kudus tidak memiliki garis sempadan. Dimana garis sempadan itu mengatur batasan bangunan gedung dengan lahan kanan, kiri, depan dan belakang yang boleh dan tidak boleh dibangun dan berfungsi sebagai daerah hijau dan resapan air, jarak minimal garis sempadan antara bangunan dengan jalan, garis batas yang didirikan dengan persil tetangga.
“Tapi bangunan gedung hotel ini tidak memiliki garis sempadan dan justru menempel dengan dinding rumah warga,” ujarnya.
Amblesnya gedung hotel, kata dia, berdampak pada tanah milik tetangga sebelahnya ikut ketarik ambles dan menarik bangunan rumah milik tetangga yang bersebelahan. Akhirnya menjadikan bangunan rumah warga ikut rusak parah hingga struktur pondasi putus.
“Sekarang kerusakan tambah parah, kalau dibiarkan bisa roboh rumahnya. Apalagi kerusakannya ini terus terjadi selama empat tahun,” paparnya. (Lingkar Network | Nisa Hafizhotus Syarifa – Koran Lingkar)