REMBANG, Lingkarjateng.id – Petani garam di Desa Dasun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang membuang garam hasil panen mereka ke jalan, Selasa, 22 Agustus 2023. Aksi tersebut dilakukan para petani sebagai bentuk protes merosotnya harga jual garam di tingkat petani. Para petani pun menduga adanya permainan tengkulak yang menyebabkan anjloknya harga.
Garam tersebut diangkut petani menggunakan angkong dari gudang penyimpanan garam menuju ke jalan. Alhasil garam yang dibuang ke jalan penghubung Desa Dasun dan Desa Sendangasri itu dilindas kendaraan warga yang sedang melintas.
Salah satu petani garam, Danar (37) mengaku sangat kesal dengan merosotnya harga garam saat ini. Menurutnya, hasil kerja keras para petani tak sebanding dengan harga jualnya.
Dikatakannya, harga jual garam putih di tingkat petani kini hanya Rp 800 per kilogram. Harga tersebut merosot tajam dari yang sebelumnya mencapai Rp 4.000 per kilogram pada awal Juni lalu.
“Saya sudah capek, harganya (garam) murah. Sekarang cuma Rp 700-800 (per kilogram). Bikinnya susah kok harganya murah,” ungkapnya.
Dirinya menduga ada permainan di tingkat tengkulak yang menyebabkan anjloknya harga jual garam di tingkat petani. Ditambah kecurigaannya terkait bocornya garam impor yang seharusnya diperuntukan untuk industri, namun meluber ke garam konsumsi.
Dirinya berharap pemerintah bisa turun tangan untuk membantu petani dalam permodalan awal. Sehingga, petani tidak perlu hutang dulu ke makelar untuk modal menggarap tambak garam.
“Jadi ada modal untuk petani garam, sehingga kita butuh uang tidak buru-buru jual. Petani bisa mengikuti harga dan menahan untuk menjual (garam). Kalau ekonomi sudah sulit harga berapapun pasti dijual, harga diri saja dijual,” imbuhnya.
Petani garam lainnya, Kusnadi (46) mengatakan aksi buang garam tersebut dilakukan agar ada perhatian dari pemerintah. Bahwa anjloknya garam di tingkat petani sangat membebani perekonomian keluarga.
Apalagi penurunan harga garam, menurutnya cukup drastis dan konsisten yakni di angka Rp 200. Sedangkan untuk penjualannya petani harus menunggu makelar baru garam bisa laku.
“Jualnya itu kalau menanti makelar, kadang lama tidak dimuat-muat (garamnya) sampai tiga minggu. Padahal, petaninya sudah kehabisan uang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi di keluarga,” pungkasnya. (Lingkar Network | R Teguh Wibowo – Lingkarjateng.id)