REMBANG, Lingkarjateng.id – Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) merespon terkait aturan Bupati Rembang terkait pembayaran pajak bagi pertambangan ilegal.
Aktivis JMPPK, Joko Prianto menganggap aturan tersebut tidak berperspektif korban kegiatan ekstraktif. Aturan itu, lanjutnya, hanya berfokus kepada pajak untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rembang. Hal ini dinilai tidak ada upaya konkrit untuk memulihkan kondisi lingkungan di daerah akibat kegiatan tambang masif.
Pihaknya pun mempertanyakan komitmen Pemerintah Jawa Tengah yang sedang memasifkan kerja sama antara Gubernur dengan Bupati/Wali Kota untuk membuat Desk Pelaporan terkait dengan tambang-tambang ilegal. Namun nyatanya tambang ilegal masih menjamur hingga saat ini.
“Dengan adanya pernyataan Bupati Rembang melalui media massa ini menunjukkan bahwa, Desk Pelaporan itu tidak berjalan secara maksimal. Dibuktikan adanya rencana penarikan pajak dari tambang ilegal ini,” ujarnya melalui melalui pers release, Senin, 9 Oktober 2023.
Dirinya menilai mekanisme penarikan pajak pertambangan yang dibahas bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak berkomitmen terhadap kelestarian lingkungan hidup dan hajat hidup masyarakatnya.
Atas kondisi tersebut, dirinya melayangkan tiga tuntutan kepada Bupati Rembang. Yakni mencabut rencana penarikan pajak dari tambang-tambang ilegal, mematuhi dan menjalankan rekomendasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng, serta bersama masyarakat melakukan pengawasan dan penghentian terhadap tambang-tambang ilegal.
“Sudah seharusnya Bupati memikirkan nasib rakyatnya yang sengsara akibat aktifitas tambang, bukan malah melakukan pembiaran hingga rencana penarikan retribusi pajak,” pungkasnya. (Lingkar Network | R Teguh Wibowo – Lingkarjateng.id)