PATI, Lingkarjateng.id – Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah wilayah Kendeng-Muria Dwi Suryono menegaskan bahwa penataan lahan pertanian yang dilakukan oleh petani dengan mengeruk lahan, tidak diperkenankan untuk mengangkut tanah tersebut keluar wilayah pertanian.
Statemen tersebut disampaikan setelah ratusan petani yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Pertanian (GMPP) melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati Pati, pada Rabu (25/9/2024). Aksi tersebut digelar buntut lima unit alat berat disita polisi akibat mengangkut tanah persawahan ke tempat lain.
Menurut Dwi apa yang dilakukan petani dengan mengeruk tanah pertanian dengan alasan penataan lahan menyalahi Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Sebab meskipun dengan alasan penataan lahan, akan tetapi material tanah kerukan lantas dijual, sehingga menyalahi aturan.
Lanjut Dwi, beda halnya jika penataan lahan tersebut dilakukan dengan tidak memindahkan material tanah ke tempat lain, maka disebut tidak menyalahi aturan.
“Soal regulasi penataan lahan izin yang ditetapkan UU Nomor 3/2020 pasal 35 ayat 3. Kalau memang sifatnya penataan material tidak dikeluarkan itu tidak apa-apa, tidak boleh keluar,” kata Dwi di depan puluhan petani dan juga Ketua DPRD Pati.
Jika tuntutan para petani yang berdemonstrasi dikabulkan, maka pihaknya harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan instansi yang bersangkutan, dalam hal ini adalah Dinas Pertanian.
“Bisa juga dijual (diangkut keluar), tetapi harus izin melalui dinas terkait yaitu Dispertan,” tegasnya.
Koordinator aksi, Sutirto, yang merupakan petani dari Desa Slungkep, Kayen, mengatakan, para petani menuntut diizinkan menata lahan pertanian dengan memindahkan material tanah ke tempat lain. Sebab di musim kemarau seperti saat ini, para petani harus menata lahan dengan tujuan sawah bisa digenangi air ketika musim hujan tiba.
Aktivitas tersebut menurut pihaknya, merupakan cara modern untuk menata lahan. Khususnya di untuk areal persawahan tadah hujan. Sehingga tanah sawah harus dikurangi dengan tujuan bisa menampung lebih banyak air hujan.
“Problematika petani adalah lahannya tinggi sedangkan irigrasinya rendah, sehingga air tidak bisa langsung ke lahan pertanian. Untuk solusinya adalah pengeprasan (dikeruk) menggunakan alat berat supaya lebih cepat dan tepat,” kata Sutirto.
Selain menuntut izin penataan lahan, massa juga mempertanyakan penyitaan satu alat berat dan lima truk dump, yang sebelumnya dilakukan oleh Polresta Pati.
Menurutnya, penyitaan alat berat tersebut tidak etis karena apa yang dilakukan oleh para petani bukanlah melakukan penambangan.
Sehingga pihaknya berharap dengan adanya aksi demo tersebut, pihak kepolisian ke depannya tidak lagi melarang aktivitas penataan lahan yang dilakukan oleh para petani.
“Tuntutannya kami bisa bekerja kembali untuk menata lahan itu dan memakai alat berat kembali tanpa gangguan dari aparat,” tandasnya. (Arif Febriyanto/ Lingkarjateng.id)