Predatory Pricing E-Commerce Asal China Ancam Ekosistem UMKM Indonesia

JAKARTA, Lingkar.news – Ahli Utama Pengembangan Kewirausahaan Kemenkop UKM Hanung Harimba Rachman mengingatkan, saat ini masih ada ancaman praktik predatory pricing dari niaga-el (e-commerce) asal China.

Praktik ilegal ini dikhawatirkan bakal mengancam ekosistem usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia.

“Saat ini ada ancaman bahwa produsen dari China itu, e-commerce baru, yang dia mengkolaborasikan 250 industri di China untuk bisa memasarkan produknya ke konsumen tanpa lewat intermediary (perantara). Itu akan ‘membunuh’ semua, baik penjual kita maupun produsen kita,” kata Hanung dalam Forum Merdeka Barat 9 yang disampaikan secara virtual di Jakarta, Senin, 9 September 2024.

Diketahui, predatory pricing merupakan praktik penetapan harga yang sangat rendah atau di bawah biaya produksi oleh sebuah perusahaan dengan tujuan untuk melemahkan pesaing di pasar.

Setelah pesaing keluar dari pasar atau menjadi tidak kompetitif, perusahaan tersebut biasanya menaikkan harga kembali ke tingkat yang lebih tinggi, untuk memulihkan kerugian yang terjadi selama periode predatory pricing.

Strategi ini dinilai anti-kompetitif dan ilegal di banyak negara, termasuk Indonesia, karena dapat merusak persaingan yang sehat dan mempengaruhi konsumen dalam jangka panjang.

Hanung mengatakan, pemerintah saat ini tengah melakukan penataan e-commerce melalui berbagai regulasi.

Ia menyebutkan salah satunya lewat Peraturan Menteri Perdagangan No 31/2023 yang merupakan dari revisi Peraturan Menteri Perdagangan No 50/2020.

“Di mana beberapa tahun ini, Pak Menkop (Teten Masduki) itu sering mendorong kebijakan-kebijakan untuk mendorong agar ada pengaturan lebih ketata khususnya e-commerce yang melakukan praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat,” jelasnya.

Adapun Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa dengan hadirnya aplikasi asing seperti Temu dapat mengancam keberadaan UMKM lokal karena Indonesia hanya akan semakin menjadi pasar bagi barang-barang impor.

“Indonesia hanya dijadikan pasar, akan banyak pelaku usaha yang terancam gulung tikar dan menciptakan PHK massal terutama di sektor industri pengolahan,” ujar Bhima, Sabtu, 15 Juni 2024.

Kementerian Koperasi dan UKM melalui staf khususnya Fiki Satari juga tegas menolak masuknya Temu ke Indonesia.

Menurutnya, aplikasi tersebut harus sesuai dengan regulasi yang ada.

“Harus ditolak. Jadi sebenarnya secara regulasi ini sulit untuk beroperasi. Ada PP nomor 29/2002 tentang Larangan Penggabungan KBLI 47, bisa juga yang kita revisi Permendag nomor 31/2023, Pengawasan Pelaku Usaha Sistem Elektronik, ada cross border langsung jadi tidak boleh,” ucap Fiki.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, nilai ekonomi digital UMKM dapat mencapai Rp4.531 triliun pada 2030, mengingat potensi peningkatan akses pasar yang lebih luas dalam ekosistem digital.

Untuk diketahui, Temu adalah platform global cross-border yang berasal dari China. Aplikasi tersebut menggunakan metode penjualan Factory to Consumer (penjualan langsung dari pabrik ke konsumen).

Metode tersebut dinilai bisa berdampak buruk pada UMKM dan lapangan pekerjaan di Indonesia. Saat ini Temu telah penetrasi ke 58 negara. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)