JAKARTA, Lingkar.news – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak pemerintah agar proyek Rempang Eco-City di Batam dicabut sebagai proyek strategis nasional (PSN) karena dianggap sangat bermasalah.
Dalam keterangan tertulis yang ditandatangani Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah, Busyro Muqoddas, disebutkan payung hukum Rempang Eco-City baru disahkan pada 28 Agustus 2023 melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Daftar PSN. Namun proyek tersebut tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak.
“Meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai PSN,” demikian pernyataan dalam keterangan tertulis, pada Rabu, 13 September 2023.
Presiden Jokowi Tugaskan Menteri Investasi Urai Konflik Proyek Rempang
LHKP dan Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah mengecam pemerintah yang menggusur masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau demi kepentingan industri swasta. Menurutnya, sikap represif dari aparat untuk memaksa warga pindah sangat brutal dan memalukan.
“Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk segera membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik,” tuntutnya.
Muhammadiyah pun mengecam pemerintah yang terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang, jauh sebelum Indonesia didirikan,” tulisnya.
Rempang Memanas, Pegawai BP Batam hingga Jenderal Bintang 1 Terluka Buntut Massa Lempar Batu
LHKP dan MHH PP Muhammadiyah juga menilai pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa “tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap” sangat keliru. Faktanya masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834.
“Menko Polhukam nampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut,” tambahnya.
LHKP dan MHH juga menilai penggusuran di Pulau Rempang ini menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Indonesia. Padahal dalam UUD 1945 disebutkan tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
7 Orang Ditetapkan Jadi Tersangka Bentrokan di Rempang Batam
“Selain itu, negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Konflik ini bermula dari adanya rencana relokasi warga di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru dalam mengembangkan investasi di Pulau Rempang menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi.
Proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) ditargetkan bisa menarik investasi besar yang akan menggunakan lahan seluas seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare.
Belasan Siswa Jadi Korban Gas Air Mata di Rempang, Kapolri Diminta Tanggung Jawab
Warga yang mendiami di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru tersebut harus direlokasi ke lahan yang sudah disiapkan. Jumlah warga tersebut diperkirakan antara 7.000 sampai 10.000 jiwa.
Bentrok pun pecah antara aparat dengan warga pada 7 September lalu. Aparat gabungan disebut memasuki wilayah perkampungan warga. Sementara warga memilih bertahan dan menolak pemasangan patok lahan sebagai langkah untuk merelokasi.
Tak berhenti di sana, kerusuhan kembali terjadi pada 11 September saat ribuan warga menggeruduk kantor BP Batam, Kota Batam untuk menolak rencana relokasi dan meminta tujuh massa aksi warga dibebaskan. (Lingkar Network | Hms – Koran Lingkar)