KUDUS, Lingkarjateng.id – Kudus identik dengan julukannya sebagai Kota Kretek. Di sini pula sejumlah tokoh pengusaha rokok kretek lahir, salah satunya Nitisemito yang dijuluki sebagai raja rokok kretek pada masanya.
Nitisemito adalah nama lain Rusdi. Pria yang lahir pada 1874 di Desa Janggalan. Putra bungsu dari Haji Soelaiman, seorang Lurah, dan ibu Markanah ini tumbuh tanpa mengenal bangku sekolah. Namun, semangat Rusdi untuk maju tak pernah padam. Meski buta huruf, ia selalu mencari cara untuk mengubah nasibnya.
“Ia tidak pernah putus asa, walaupun buta huruf namun semangatnya untuk maju sangatlah kuat,” ungkap Novi Nurhayati selaku Kepala Penjaga Museum Kretek Kudus, Selasa, 18 Juni 2024.
Pada usia 17 tahun, Rusdi memutuskan merantau ke Malang. Di sana, ia bekerja sebagai buruh jahit sebelum akhirnya mencoba peruntungan sebagai pengusaha pakaian jadi. Sayang, usaha pertama itu gagal.
Rusdi pun Kembali ke Kudus. Ia mencoba peruntungan sebagai pedagang kerbau dan produsen minyak kelapa, tetapi nasib buruk kembali menghampirinya. Tak putus asa, Rusdi menjadi kusir dokar sambil berjualan tembakau. Perjuangan keras ini perlahan mengubah nasibnya.
Ketika usianya menginjak 31 tahun, Rusdi menikahi Nasilah dan mengganti namanya menjadi Nitisemito. Bersama istrinya, mereka sepakat untuk memulai usaha membuat rokok kretek.
“Istrinya yang meracik tembakau dan ia yang memegang kendali perusahaan,” tambah Ari Efendi, penjaga museum.
Awalnya, mereka melinting rokok sendiri dan menjualnya sendiri. Rokok kretek, campuran tembakau, cengkeh, dan saus khusus, dibungkus kulit jagung kering dan diikat dengan benang berwarna-warni. Usaha mereka awalnya berlabel Cap Kodok Nguntal Ulo namun nama itu lebih sering menjadi bahan tertawaan. Mereka kemudian menggantinya dengan Cap Bulatan Tiga yang karena mirip bola kemudian lebih dikenal sebagai Cap Bal Tiga.
Tahun 1914 menjadi puncak kejayaan Nitisemito. Untuk mengelola pabrik yang semakin besar, Rusdi mengangkat M. Karmain, mantan warkoper di Semarang, menjadi Koewasa. Kesuksesan ini mendorong Nitisemito untuk memperluas usahanya. Ia mendirikan pabrik baru seluas 6 hektare di Desa Jati, Kudus, dengan lebih dari 15.000 karyawan, belum termasuk tenaga kerja abon. Semua sertifikat dan perjanjian perusahaan atas nama M. Soemadji Nitisemito, anak keempatnya yang telah ia bimbing untuk meneruskan bisnis keluarga.
“M. Soemadji Nitisemito adalah anak keempat yang sudah bertahun-tahun ia bimbing dan menyuruhnya untuk magang kepada menantunya yaitu M. Karmain,” tambah Novi.
Daerah pemasaran rokok Cap Bal Tiga mencakup Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, bahkan hingga Belanda. Untuk meningkatkan penjualan, Nitisemito menggunakan berbagai strategi promosi, termasuk menyewa pesawat Fokker untuk beriklan di Jakarta dan Bandung. Ia juga memberikan souvenir seperti gelas, piring, dan sepeda kepada para pembeli. Nitisemito juga menjadi sponsor berbagai acara masyarakat seperti pasar malam dan pertunjukan tradisional.
Namun, kejayaan itu tidak berlangsung selamanya. Tahun 1938, perusahaan rokoknya mengalami kemunduran akibat masalah internal keluarga, pecahnya Perang Dunia II, dan masuknya tentara Jepang yang memperburuk kondisi ekonomi. Bahkan, aset perusahaan disita.
Pada tahun 1953, perusahaan rokok Bal Tiga dinyatakan pailit dan produknya perlahan hilang dari pasaran.
Kisah Nitisemito adalah cermin dari semangat pantang menyerah dan inovasi yang tiada henti. Dari seorang anak desa yang buta huruf hingga menjadi raja rokok kretek, perjalanan hidupnya penuh dengan pelajaran berharga tentang kerja keras dan ketekunan.
“Ia tidak pernah berhenti berusaha, meskipun usahanya tidak selalu berhasil,” kata Novi Nurhayati. Nitisemito mungkin telah tiada, namun warisannya dalam industri rokok kretek tetap dikenang di Kudus dan sekitarnya. (Lingkar Network | M. Fahtur Rohman – Lingkarjateng.id)