JEPARA, Lingkarjateng.id – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara telah bertindak cepat menangani temuan limbah medis di Desa Mambak, Kecamatan Pakis Aji, yang diduga berasal dari produksi farmasi ilegal.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jepara, Aris Setiawan, menyatakan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Jepara guna mengetahui asal usul limbah tersebut.
Dari hasil koordinasi itu, Kepala Dinkes Jepara menginstruksikan timnya untuk meminta klarifikasi dari pedagang besar farmasi (PBF). Selain itu, DLH pun berkoordinasi dengan Polres Jepara terkait adanya informasi temuan limbah medis ilegal.
“Berdasarkan arahan dari kepolisian, limbah ini sedang dalam tahap penyelidikan dan barang bukti telah diamankan,” kata Aris saat ditemui di Kantor Sekretariat (Setda) Jepara pada Jumat, 11 Oktober 2024.
Tim gabungan dari DLH dan Dinkes juga turun ke lokasi. Mereka berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat terkait kepemilikan lahan, pihak pengelola, serta pemilik limbah tersebut. Selain itu, DLH bersama Dinkes juga menelusuri data asal produk limbah, serta berupaya mengantisipasi dampak lingkungan yg mungkin timbul.
“Dinkes mencari data dari mana asal produk limbah. DLH melakukan antisipasi dampak lingkungan sementara, dengan melokalisir limbah sehingga tak berdampak luas terhadap lingkungan sekitar,” terang Aris.
Selanjutnya, limbah yang ditemukan saat ini menjadi barang bukti dalam penyelidikan kepolisian. DLH juga menyarankan agar pemerintah desa setempat ikut mengawasi, sehingga limbah tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab dan berpotensi menimbulkan dampak lebih luas.
Aris juga menjelaskan bahwa sebagaimana regulasi yang ada saat ini, di mana Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bandengan hanya dapat digunakan untuk menampung sampah rumah tangga dan sampah sejenis.
Selain karena limbah temuan tersebut statusnya sebagai barang bukti, Arus juga menjelaskan bahwa penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) harus sesuai dengan standar operasional yang berlaku dan berbeda penanganannya dengan limbah biasa.
Meski demikian, pemerintah daerah terus memantau perkembangan situasi untuk meminimalkan risiko lingkungan. DLH juga terus berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk dengan kementerian terkait pemulihan lahan yang mungkin terdampak atau terkontaminasi limbah.
“Kami akan menentukan langkah yang tepat sesuai ketentuan apabila lahan tersebut betul-betul terkontaminasi,” lanjutnya.
Di sisi lain, Kepala Dinkes Jepara melalui perwakilan dari Bidang Farmasi dan Alat Kesehatan (Farmalkes), Silvy Alifia, mengonfirmasi bahwa pihaknya sudah menghubungi perusahaan yang namanya tertera pada kardus limbah. Klarifikasi dari perusahaan menyatakan bahwa produk tersebut bukan buatan mereka, karena produksi obat serupa telah dihentikan sejak 2016. Dugaan kini mengarah pada keterlibatan industri farmasi ilegal.
“Bisa dibuktikan dengan nomor izin edar (NIE) yang tidak berlaku dan nomor batch yang tidak terdaftar,” ujarnya.
Alifia juga mengungkapkan bahwa Dinkes Jepara juga telah meminta informasi tambahan dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Semarang. BBPOM mengonfirmasi bahwa obat yang ditemukan tidak lagi beredar secara legal, sehingga memperkuat dugaan limbah tersebut berasal dari aktivitas farmasi ilegal yang diselidiki pada April 2024.
“Jika klarifikasi dari BPOM-nya, mungkin ada benang merah di situ,” ujarnya.
Selain itu, kata Alifia, Dinkes Jepara telah mengirimkan surat edaran kepada seluruh fasilitas kesehatan di kabupaten setempat. Surat tersebut meminta agar pengelolaan obat-obatan dilakukan sesuai standar.
“Semua pihak yang menerima surat memastikan bahwa limbah yang ditemukan bukan bagian dari persediaan mereka,” pungkasnya. (Lingkar Network | Tomi Budianto – Lingakarjateng.id)