Adaptasi Dampak Perubahan Iklim, Jepara Kini Miliki 25 Lokasi Proklim

JEPARA, Lingkarjateng.id – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara saat ini memiliki 25 desa sebagai lokasi penerapan program kampung iklim (proklim).

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jepara, Aris Setiawan, melalui Kabid Pengendalian Pencemaran dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup (P3LH), Nexson Manullang, menjelaskan bahwa proklim merupakan program berlingkup nasional dalam rangka meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lain.

Menurutnya, program tersebut bertujuan untuk melakukan penguatan kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Tak hanya itu, program tersebut juga sekaligus untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.

“Tujuannya untuk melestarikan alam. Jadi pemerintah mencoba menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya, yang arahnya nanti ke kelestarian lingkungan,” katanya baru-baru ini.

Nexson mengungkapkan bahwa per Oktober 2024 setidaknya terdapat 25 lokasi proklim di Kabupaten Jepara. Tahun ini, pihaknya mengajukan 4 lokasi proklim baru.

“Totalnya ada 25 lokasi. Di 2024 kita sudah mengajukan 4 lokasi, 1 lokasi yaitu Desa Kunir, Kecamatan Keling. SK (surat keputusan) penetapannya sudah keluar madya. Dan 3 lokasi lainnya yaitu Desa Pecangaan Kulon di Kecamatan Pecangaan, Desa Tempur di Kecamatan Keling, dan Desa Wanusobo di Kecamatan Kedung. SK penetapan masih dalam proses,” katanya.

Lebih lanjut, dari 25 lokasi tersebut, 2 lokasi berada di tingkat pratama, 4 lokasi di tingkat madya, 6 lokasi di tingkat utama, dan 10 lokasi yang belum SRN (Sistem Registrasi Nasional).

“Tingkatan lestari belum ada, karena syarat untuk naik ke tingkatan lestari harus membina minimal 10 lokasi proklim. Untuk tahun 2025 kemungkinan nanti ada tambahan 5 lokasi lagi,” imbuhnya.

Nexson menerangkan bahwa desa/kelurahan yang berpartisipasi dalam proklim harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya adalah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, pemanfaatan pekarangan, pengolahan sampah, penghijauan, penggunaan energi-energi terbarukan, dan pemakaian pupuk organik di sektor pertanian.

“Proklim ini dapat dikembangkan dan dilaksanakan pada wilayah administratif paling rendah setingkat RW atau dusun, dan paling tinggi setingkat kelurahan atau desa,” tandasnya. (Lingkar Network | Tomi Budianto – Lingkarjateng.id)